📚 Linguistik Arab di Indonesia : Antara Teori dan Praktik
Opini A. Mauludin
Dalam kajian linguistik Arab, ilmu bahasa dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk utama: ilmu lughoh an nadzhari (ilmu bahasa yang bersifat teoretik) dan ilmu lughoh at-tathbiqie (ilmu bahasa yang bersifat praktis atau terapan). Ilmu yang pertama mencakup aspek-aspek seperti ashwat (phonologi), nahwu (sintaksis), shorf (morfologi), dan dilalah (semantik), yang mengulas struktur, kaidah bahasa dan ilmu makna secara mendalam. Sedangkan ilmu yang kedua lebih menekankan pada kemampuan berbahasa secara fungsional seperti kemampuan berbicara (maharat al kalam), mendengar (maharat al Istima’), membaca (maharat al Qiro’ah), menulis (maharat al kitabah), terjemah, psikolinguistik dan sosiolinguistik dalam konteks nyata.
Dengan kata lain, seseorang yang mendalami aspek teoretik disebut ‘ālim, sementara yang fasih berbahasa Arab secara praktis disebut fāṣiḥ.
Fenomena yang menarik terjadi di Indonesia, di mana mayoritas pelajar bahasa Arab menguasai teori dengan baik. Hal ini terlihat dari kemampuan mereka dalam mengurai i‘rab, memahami bentuk wazan, serta menganalisis majaz dan isti‘ārah dalam balaghah bahkan hafal ratusan bait sya’ir qawaid. Namun, ketika dihadapkan pada percakapan nyata dalam bahasa Arab, banyak di antara mereka mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat atau menyampaikan ide secara lisan. Ini menunjukkan adanya ketimpangan antara penguasaan teori dan keterampilan praktik bahasa.
Di sisi lain adapula Kenyataan bahwa para pelajar bahasa arab di Indonesia mengedepankan fungsinya sebagai komunikasi namun kurang mendalam dari segi teori. Hal ini bisa di buktikan dengan banyaknya pesantren-pesantren yang menggunakan konsep Trilingual (berbahasa arab-inggris-Indonesia). Namun saat berbicara atau menulis banyak al akhtha-nya dari segi ilmu bahasa.
Kondisi ini tidak sepenuhnya keliru, sebab tradisi pembelajaran bahasa Arab di Indonesia memang lebih menekankan pada aspek teoritik sebagai bagian dari pendekatan filologis dalam memahami turāts (warisan keilmuan klasik). Namun, jika bahasa Arab hanya diposisikan sebagai objek studi dan bukan sebagai alat komunikasi, maka fungsi praktisnya akan terabaikan. Padahal, dalam konteks global dan akademik, penguasaan bahasa Arab sebagai alat komunikasi juga menjadi kebutuhan yang mendesak.
Oleh karena itu, perlu ada reformulasi dalam penyusunan kurikulum pembelajaran bahasa Arab di Indonesia. Kurikulum tersebut harus mampu menjawab dua tujuan utama: (1) bahasa Arab sebagai alat untuk memahami literatur klasik (turāts), dan (2) bahasa Arab sebagai alat komunikasi dalam kehidupan akademik maupun sosial.
Keseimbangan antara teori dan praktik perlu diupayakan melalui pendekatan integratif, seperti Kebijakan Pemerintah yang memberikan posisi strategis terhadap penggunaan bahasa arab, pembelajaran berbasis konteks, percakapan tematik, dan integrasi media digital.
Dengan demikian, diharapkan lahir generasi yang tidak hanya ‘ālim dalam teori bahasa Arab, tetapi juga fāṣiḥ dalam menggunakannya secara aktif. Penguasaan dua sisi ini akan memperkuat posisi bahasa Arab sebagai ilmu yang hidup dan fungsional, sekaligus menjaga kelestarian tradisi ilmiah Islam yang diwariskan oleh para ulama terdahulu.

